TANGGAPAN TERHADAP RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG HUKUM MATERIL PERADILAN AGAMA BIDANG PERKAWINAN
Isi Artikel Utama
Aah Tsamrotul Fuadah
Nikah sirri kembali menjadi isu hangat di Indonesia, hal ini mencuat ketika diajukannya Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Hukum Materil Peradilan Agama Bidang Perkawinan atau yang populer dengan sebutan RUU Nikah Siri, yang mengancam pelaku nikah siri dengan sanksi pidana yakni ancaman hukuman bervariasi, mulai dari 6 bulan sampai tiga tahun, dan denda mulai Rp. 6 juta sampai Rp. 12 juta. RUU ini mengundang pro dan kontra, pihak yang setuju menganggap bahwa hal ini adalah sebuah kemajuan karena menurut mereka penikaha sirri sering kali hanya merugikan pihak perempuan dan berdampak negative bagi anak keturunan hasil nikah sirri. Semantara pihak yang kontra berpendapat bahwa RUU ini justru akan mengarahkan orang untuk melegalkan perzinahan.
Dalam kajian fiqh klasik nikah sirri adalah pernikahan yang dilakukan tanpa adanya wali atau saksi, sementara pengertian nikah sirri saat ini lebih bermakna pernikahan yang dilakukan hanya sesuai dengan agama masing-masing tanpa dilakukan pencatatan di depan petugas Kantor Urusan Agama. Jika nikah sirri diartikan dengan pengertian yang pertama maka para ulama bersepakat tidak sahnya pernikahan tanpa adanya wali dan saksi. Adapun nikah sirri yang dilakukan secara Islam namun tidak dicatat oleh petuga KUA maka sebagian besar ulama memnaggapnya sah.
Dari sinilah muncul permasalahan tentang nikah sirri di Indonesia, jika RUU ini telah disahkan maka para pelaku nikah sirri akan dikenakan denda atau hukuman penjara. Melaksanakan perkawinan secara sah menurut hukum Islam sebagaimana diatur dalam pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah perwujudan dari ketaatan kepada Allah dan RasulNya dalam hal perkawinan. Sedangkan melaksanakan pasal 2 ayat (2) nya yakni tentang pencatatan perkawinan adalah wujud ketaatan kepada pemimpin. Namun demikian meskipun aturan Allah dan Rasul-Nya serta manusia sudah sangat baik, tetap akan ada yang melanggar aturan-aturan tersebut. Buktinya masih banyak orang Islam yang nikah tanpa dicatat, padahal itu untuk kemaslahatan semua pihak, sedangkan kemaslahatan itu merupakan tujuan syara’ (maqashid al-syari’ah).
Maka dari sini sudah selayaknya bagi mereka yang melaksanakan pernikahan siri karena masalah biaya, harus dibantu untuk melakukan itsbat nikah ke Pengadilan Agama dengan berperkara secara prodeo (cuma-cuma). Sedangkan mereka yang melakukan nikah siri karena alasan lain, dianjurkan untuk melakukan itsbat nikah. Kalau tidak mau, maka sewajarnya diberi sanksi baik secara administratif maupun dengan sanksi pidana yang bisa membuat jera.
Abdul Gani Abdullah, DR. SH, Pengantar Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum di Indonesia, Gema Insani Press, Jakarta, 1994.
Abd al-Rahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘ala Mazdabib al-Arba’ah,juz IV, dalam Maktabah al-Syamilah al-Ishdar al-Stani
Abu Hamid ibn Muhammad al-Ghazali, al-Musstasyfa, Dar al-Fikr, tp ,t th.
Abu Muhammad ‘Izzuddin Abd al-‘Aziz bin Abd al-Salam al-Sulma, Qawaid al-Ahkam Fi Mashalih al-Anam, Juz 1, Al-Istiqamah, Kairo.
Abu Zahrah, Al-Imam Muhammad, Al-Ahwal al-Syakhshiyyah, Dar al-Fikr al-‘Aroby, 1950.
Al-Nawawi, Shahih Muslim Bisyarhi al-Nawawi, Jilid 9, Mathba’ah al-Mishriyyah, Beirut.
Al-Syathibi dalam al-Muwafaqat, tentang teori maqashid al-Syari’ah
Anonimous, Rancangan Undang-Undang Perkawinan Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang PerkawinanTahun 2007.
Anonimous, Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1974 dll. Klaong Klede, hal.266.
Anonimous, Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama 1990, dilengkapi Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1970,
Damsyi Hanan, Drs., Permasalahan Itsbat Nikah, Kajian Terhadap Pasal 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Pasal 7 Kompilasi Hukum Islam, Artikel dalam Mimbar Hukum Nomor 31 Tahun 1997.
.Djazuli A. dan I Nurol ‘Aen, Ushul Fikih, Metodologi Hukum Islam, Raja grafindo Persada, Jakarta, Tahun 2000
http://karodalnet.blogspot.com/2010/ruu-nikah-siri-html.
http://irmadevita.com/2009/akibat-hukum-nikah-siri
http://wwwmail-archive.com/belajar-islam@yahoogroups.com/msg 00228. html..
Ibn Qayyim al-Jauziyah, I’lam al-Muwaqi’in, Juz IV dar al-Nafais, yordania, cet II T th
Muhammad Abu Zahrah, Al-Akhwal al-Syakhshiyah, Dar al-Fikr al-‘Araby Tahun 1950.
Muhammad Ali al-Shabuni, Rawa’i al-Bayan Tafsir ayat Ahkam, jilid I, Dar al Fikr, Baerut,t th.
Muhammad Raf’at Ustman, ‘Aqd al-Zawwaj Ar kanuhu wa Syuruthu shihatihi fi al-Fiqh al-Islami, t tp, t th.
Muhammad Shidqi Bin Ahmad Al-Burnu, DR. Al-Wjiz Fi Idhahi Qawa’id al-Fiqhiyah al-Kulliyyah, Muassasah Al-Risalah.
Muhammad Usman Syabir, Qawaid al-Kulliyah wa al-Dhawabith Fiqhiyah, Dar-al-afais, yordania, Tahun 2007, cet II hal. 259. mengutip dari majallah al-Ahkam al-adliyyah, pasal 39.
Nasaruddin Umar, Hukum Keluarga Kontemporer di Negara-Negara Muslim, Makalah semnar Nasional “Hukum Materiil Peradilan Agama;Antara Cita,Realita dan Harapan, Jakarta,19 Pebruari 2010.
Najmudin al-Thufi, Syarh al-Arbai’n al-Nawawi, tp, t th.
Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, Tahun 1994.
Wahbah al-Zuhaeli, al-Fiqh al-Islami wa adillatuhu, jilid V, Dar al-Fikr, Damaskus Tahun 1985.
Yahya bin Muhammad bin Hubairah al-Syaibani, Al-Wazir, Abu al-Mudzaffar, Ikhtilaf al-Aimmah al-‘Ulama, Jilid 2, Dar al-Kutub al-‘ilmiyyah, Beirut.